Dina T Wijaya
4 min readDec 7, 2023

Kita Terlalu Sibuk Ngurus Gombal

Beberapa hari lalu seorang teman yang lama tak menghubungi, bercerita bahwa ia akan punya acara. Calon pasangan beserta keluarganya bakal bertandang ke rumah. Dia menunjukkan setelan blouse dan kain motif yang bakal dipakai. Tapi, di sela-sela obrolan teman itu merasa sedikit kesal, dan menimbang-nimbang busana yang patut ia kenakan di hari spesial itu. Katanya, sebenarnya dia tak mau ikut-ikutan tren karena menurutnya gaya berkain seperti itu dapat dikatakan ‘fast fashion’.

Di lain hari, seorang teman berganti gaya jilbab. Model bandana, diikat dan disampir ke belakang kepala. Gaya itu dipadukan dengan kebaya model lawas yang nampak necis. Ia kelihatan percaya diri dan merasa pantas dengan pakaian itu. Tapi entah kenapa ia jauh lebih peduli omongan orang dan gaya itu tak lagi dikenakan. Sekali waktu dia berkata, “Untung pas ketemu orang-orang kantor, gaya jilbabku bukan yang kayak kemarin.”

Lalu suatu waktu seorang teman lain nyeletuk di obrolan WA, “Aku akhir-akhir ini merasa cantik gak pake jilbab.” Diiringi candaan, dia mengaitkan keinginan itu dengan hasutan-hasutan setan. Menurutnya, itu keputusan buruk buat perempuan yang tak seharusnya dia pilih. Membayangkan komentar orang tentu jadi mimpi buruk buatnya. Komentar orang tentu akan menghantuinya.

Detik ini, aturan berpakaian di sekolah-sekolah negeri sudah pakem. Bahkan sudah ada tuntutan berseragam yang dianggap sesuai syariah Islam. Tidak pandang bulu. Semua siswa diwajibkan membeli bahan panjang dari sekolah yang tentu harganya jauh lebih mahal.

Daftar kasus perundungan, penyeragaman dan kewajiban pakai ini pakai itu sampai diskriminasi atas nama atribut agama dan seterusnya masih terus bertambah. Pelarangan maupun pemaksaan jilbab, menurut saya semuanya sama-sama menyakiti keberagaman pilihan perempuan. Sampai-sampai kita ragu dan takut bukan main hanya untuk sekadar tampil.

Di belahan dunia lain, baru pekan lalu, Pengadilan Tinggi Uni Eropa sudah ketok palu bahwa segala bentuk atribut agama dilarang dipakai oleh seluruh karyawan di lingkungan instansi pemerintah. Tidak hanya jilbab, kipah hingga anting-anting salib pun tak diperbolehkaan. Sementara di Iran, semenjak kematian Mahsa Amini, gelombang protes masih berlangsung hingga sekarang. Lantaran sejengkal saja perempuan keluar dengan menampakkan rambut dianggap sama seperti melakukan tindakan kejahatan. Polisi moral di sana bakal bertindak. Hukumannya bisa sampai 10 tahun penjara. Bahkan di tahun 80-an, perempuan Iran tanpa jilbab bisa dicambuk 74 kali.

Peristiwa dan konteksnya tentu beda-beda. Bahkan bisa jadi sangat kontras. Buat beberapa orang, jilbab (maupun atribut agama lain) bisa menjadi identitas bahkan ‘jembatan’ yang menghubungkan dirinya dengan Tuhan. Di satu masyarakat lain ia murni fungsional sebagai penutup kepala. Di lain tempat, ia berkembang jadi komoditas, jadi fesyen.

Sepertinya masalah batasan berbusana selalu kita lewatkan, jarang sekali dibahas ramai-ramai, meski itu sudah menggelisahkan. Pokoknya kalau urusan sandangan, terkesan itu cuma urusan personal. Padahal lebih dalam dari itu, kita mestinya punya tanda tanya besar di kepala: siapa dan atas kepentingan apa kita diatur dan dikontrol? Apa imbasnya buat hidup yang kita jalani hari ini? Bagaimana akarnya sampai kita ‘seseragam’ ini? Seberapa sadar kita, pada setiap helai yang melekat pada tubuh?

Seringkali pun saya di rumah sering dengar Bapak bilang, “Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.”

Dari peribahasa itu, saya memaknai betapa busana sepatutnya menjadi bagian dari kendali diri. Pakaian adalah “aji” yang punya nilai dan makna, yang hanya diri kita sendirilah yang berdaulat atasnya, bukan karena paksaan diluar diri.

Tentu batas-batas kenyamanan dan kesopanan tak bisa sepenuhnya kita abaikan. Tapi poin yang perlu dipertanyakan: Kok rasanya kita tak pernah diberi kesempatan untuk membekali diri dengan pemahaman yang utuh mengenai pakaian yang kita kenakan ya? Padahal kita berhak punya akses itu sehingga punya kepercayaan diri yang matang sebagai seorang individu dengan identitas yang disandang, dengan kepercayaan yang dipeluk erat.

Saya masih membayangkan, setidaknya di lingkungan terdekat, kita bisa saling memandang dengan adil, bahwa setiap perempuan bisa punya jati diri, integritas, dan potensi yang ia pancarkan. Punya koneksi yang bermakna, baik dengan penciptanya maupun sesama manusia, tanpa disandung-sandung dengan kesukaran aturan sandangan.

Presentasi proses karya dan diskusi pentas “Dress-Code” oleh Teater Bertumbuh.

Persoalan-persoalan inilah yang diangkat dalam pentas Dress Code. Pertunjukan ini diinisiasi oleh Pak Agung Wibowo Pambo bersama Teater Bertumbuh asal Surakarta. Buat saya menarik ketika ada yang mengangkat problem ‘gombal’ ini lewat seni.

Ketika menghadiri presentasi dan diskusi karyanya kemarin saya jadi mikir: betapa kita melulu sibuk dengan segala persoalan yang berkaitan dengan ‘kulit’ saja, sampai merasa si paling berhak mencela dan menyakiti liyan…

“Pertunjukkan ini adalah ajakan untuk merefleksi diri, terkait tubuh kita ketika berhadapan dengan gombal,” kata Agung Pambo. Beliau tentu punya banyak refleksi, pengalaman dan cerita panjang yang melatarbelakangi penciptaan karya itu. Semoga dengan ini kita jadi punya perhatian serius soal kedaulatan perempuan dalam memilih busana. Dan, semoga proses karya teater ini lancar sampai pentas April depan!